Kuliner

Mengungkap Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun

ZRZainur Roziqin
21 Desember 2025 (11:41)5 min read
Dashboard style illustration for modern blog architecture

Yogyakarta, kota yang selalu dirindukan karena suasananya yang hangat dan kulinernya yang menggugah selera. Ketika berbicara tentang kota ini, mustahil jika kita tidak menyebutkan satu ikon kuliner yang telah melegenda: Gudeg. Hidangan nangka muda dengan cita rasa manis nan gurih ini bukan sekadar makanan pengisi perut. Di balik setiap suapannya, tersimpan cerita panjang tentang perjuangan dan budaya. Artikel ini akan mengajak Anda menelusuri Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun, sebuah kisah yang membuktikan bahwa makanan adalah bagian tak terpisahkan dari identitas sebuah bangsa.

Apakah Anda tahu bahwa gudeg yang kini menjadi oleh-oleh favorit wisatawan dulunya adalah menu darurat di tengah hutan? Mari kita kupas tuntas perjalanan kuliner istimewa ini.

Asal Mula: Dari Hutan Mentaok Menjadi Legenda

Untuk memahami asal usul gudeg, kita harus memutar waktu kembali ke abad ke-16, tepatnya pada masa pembangunan Kerajaan Mataram Islam. Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun bermula ketika Panembahan Senopati (pendiri Mataram Islam) dan Ki Ageng Pemanahan membuka hutan lebat yang bernama Alas Mentaok.

Saat proses pembukaan lahan ("babat alas") tersebut, para pekerja dan prajurit menemukan bahwa hutan tersebut dipenuhi oleh pohon nangka dan pohon kelapa. Jumlah nangka muda (gori) dan kelapa yang melimpah ruah memaksa mereka untuk berpikir kreatif dalam mengolah bahan makanan. Karena jumlah prajurit yang harus diberi makan sangat banyak, nangka muda tersebut dimasak dalam porsi besar menggunakan santan di dalam kuali logam raksasa.

Proses memasak ini dilakukan dengan cara mengaduk nangka dan santan menggunakan alat pengaduk besar yang menyerupai dayung perahu. Dalam bahasa Jawa, proses mengaduk ini disebut "hangudek". Dari istilah inilah kemudian lahir nama "Gudeg". Jadi, secara historis, kuliner khas Jogja ini lahir dari kondisi survival dan kreativitas memanfaatkan sumber daya alam yang ada di sekitar hutan Mentaok.

Makanan Rakyat, Bukan Makanan Keraton

Ada miskonsepsi bahwa gudeg sejak awal adalah makanan mewah kaum bangsawan. Padahal, sejarah Gudeg Yogyakarta mencatat bahwa hidangan ini awalnya adalah makanan rakyat jelata dan para prajurit yang sedang bertugas membuka lahan. Karena proses memasaknya yang lama dan menghasilkan porsi yang sangat besar, gudeg menjadi solusi logistik yang efisien untuk memberi makan ratusan pekerja dan prajurit Mataram.

Barulah seiring berjalannya waktu, ketika Kerajaan Mataram Islam semakin mapan dan pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, gudeg mulai naik kelas dan masuk ke lingkungan keraton, meskipun tetap mempertahankan identitasnya sebagai makanan yang merakyat.

Filosofi "Tepo Seliro" dalam Sepiring Gudeg

Keistimewaan makanan tradisional Jawa ini tidak hanya terletak pada rasanya, tetapi juga pada filosofi pembuatannya. Memasak gudeg membutuhkan waktu yang sangat lama, bisa memakan waktu berjam-jam bahkan seharian penuh untuk mendapatkan tekstur yang empuk dan bumbu yang meresap sempurna hingga ke dalam serat nangka.

Proses memasak yang panjang ini mengajarkan nilai kesabaran, ketenangan, dan tepo seliro (tenggang rasa). Warna cokelat kemerahan yang khas pada gudeg klasik didapatkan dari daun jati yang dimasak bersamaan. Ini menunjukkan harmonisasi antara manusia dan alam. Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun mengajarkan kita bahwa sesuatu yang berkualitas dan nikmat membutuhkan proses yang tidak instan. Kesabaran inilah yang menjadi kunci mengapa rasa gudeg begitu mendalam dan otentik.

Evolusi dan Varian: Dari Gudeg Basah ke Gudeg Kering

Seiring perkembangan zaman, gudeg pun mengalami evolusi untuk menyesuaikan kebutuhan masyarakat. Pada awalnya, gudeg yang dimasak oleh masyarakat Mataram adalah jenis gudeg basah. Gudeg basah memiliki kuah santan (areh) yang lebih encer dan biasanya disajikan untuk langsung disantap habis.

Namun, kebutuhan zaman mengubah tren tersebut. Sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, ketika pariwisata Yogyakarta mulai menggeliat dan banyak orang ingin membawa gudeg sebagai oleh-oleh ke luar kota, muncul inovasi gudeg kering.

Perbedaan Gudeg Basah dan Kering

  1. Gudeg Basah: Lebih original, memiliki kuah santan yang cukup banyak, tekstur nangka lebih lembut dan berair. Biasanya lebih populer sebagai menu sarapan pagi di Yogyakarta.
  2. Gudeg Kering: Dimasak lebih lama hingga kuah santannya benar-benar menyusut dan mengering. Varian ini memiliki daya tahan yang lebih lama (bisa bertahan 2-3 hari tanpa pengawet), sehingga sangat cocok menjadi buah tangan. Warnanya cenderung lebih cokelat pekat dan rasanya lebih manis.

Selain perbedaan tekstur, ada juga varian bahan baku yang unik, yaitu Gudeg Manggar. Berbeda dengan gudeg biasa yang menggunakan nangka muda, gudeg manggar menggunakan bunga kelapa yang masih muda (manggar). Konon, gudeg manggar adalah menu favorit para putri keraton karena dipercaya dapat memancarkan aura kecantikan.

Mengapa Gudeg Bertahan Ratusan Tahun?

Pertanyaan besar yang sering muncul adalah, bagaimana bisa Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun tetap relevan di tengah gempuran kuliner modern dan makanan cepat saji?

Jawabannya terletak pada kemampuan gudeg untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati dirinya. Gudeg telah menjadi identitas kolektif masyarakat Yogyakarta. Sentra kuliner gudeg seperti di daerah Wijilan dan Barek menjadi bukti nyata bagaimana resep warisan leluhur ini dikelola secara turun-temurun.

Faktor pendukung lainnya adalah kelengkapan lauk pauk yang menyertainya. Gudeg tidak berdiri sendiri. Ia selalu ditemani oleh sambal goreng krecek (kulit sapi) yang pedas, telur pindang, ayam kampung opor, dan tahu bacem. Perpaduan rasa manis dari gudeg dan pedas gurih dari krecek menciptakan simfoni rasa yang kompleks dan membuat ketagihan. Inilah yang membuat wisatawan selalu kembali mencari gudeg setiap kali menjejakkan kaki di Yogyakarta.
Baca juga : Mengupas Makna Filosofi Urip Iku Urup sebagai Pedoman Hidup Bermakna

Tips Menikmati Gudeg Secara Otentik

Untuk merasakan nuansa Sejarah Gudeg Yogyakarta yang sesungguhnya, cobalah menikmatinya di warung-warung lesehan pada malam hari atau dini hari di sekitar jalan Malioboro atau pasar tradisional. Suasana menyantap gudeg di atas tikar sambil diiringi alunan musik pengamen jalanan akan membawa Anda merasakan romantisme Yogyakarta yang sederhana namun memikat.

Sebagai penutup, Sejarah Gudeg Yogyakarta, Makanan Prajurit Mataram yang Bertahan Ratusan Tahun adalah bukti bahwa kuliner adalah penjaga ingatan. Dari hutan Mentaok hingga menjadi ikon pariwisata, gudeg mengajarkan kita tentang ketahanan, adaptasi, dan kenikmatan yang lahir dari kesabaran. Jadi, saat Anda menyantap gudeg, ingatlah bahwa Anda sedang menikmati sepotong sejarah panjang tanah Jawa.

Related Posts

View all

Soto Lamongan Asal Usul dan Resep Sederhana

Soto Lamongan: Kuliner Khas Jawa Timur y...

Read article

Kenapa Mie Ayam Jadi Favorit Banyak Orang di Indonesia

Makanan kaki lima di Indonesia sangat be...

Read article

Rahasia Lezat Sate Madura: Kuliner Tradisional yang Selalu Bikin Ketagihan

Sate Madura adalah salah satu sate palin...

Read article

Copyright © 2025 Jawanesia. All rights reserved.

PT Kakandatech